Keterdiaman Di Tengah Hujan

Hai hujan, maaf aku bukan penggemarmu. Aku tau beribu-ribu pengarang puisi menulis tentangmu, apa alasannya? Apa karena mereka punya kenangan mandi hujan saat kanak-kanak? Atau mereka suka berlarian di tengah hujan sambil menari-nari mengelilingi pohon persis seperti drama india?

Atau karena petrichor? Bau khas tanah setelah hujan itu ya? Tapi sekarang, jalanan sudah banyak yang diaspal, halaman rumah juga diberi paving block. Jadi terkadang bukan bau petrichor yang tercium, tapi bau aspal sesudah hujan.
Namun terkadang aku suka menjulurkan tangan dari balik jendela untuk menangkap tetesnya, aku bisa merasai airnya mengenai kulit tanganku, rasanya menyenangkan.

Tapi hujan, kenapa kau muncul disaat moodku lagi buruk, hujan yang deras, yang bagi ribuan semut adalah bencana alam, tsunami, menghantam sarang mereka.
Suara aliran air yang menetes di atap rumah sungguh mengganggu. Seolah-olah mereka (tetes-tetes air) adalah pasukan perang yang melintas di atas rumah dan menimbulkan kegaduhan. Yang deras, disertai angin, petir, guntur, mati lampu.

Ketika hujan juga, aku tak bisa lakukan apapun, barang elektronik dilarang dihidupkan di rumah. Aku sering merenung dan melamun saat hujan dan itu menjengkelkan, kadang membuatku teringat pada kenangan-kenangan buruk yang datang dari masa lampau.

Memang benar, hujan membangkitkan kenangan. Tapi aku tak pernah punya kenangan romantis saat hujan seperti di cerita novel, yang kuingat hanyalah aku yang kebasahan saat nekat menerobos hujan ataupun aku yang harus terkurung di suatu tempat sampai menunggu dia reda.

Dibuat di Gunung Megang, pada tanggal 09 Januari 2018.

Comments

Popular Posts