Aku Dan Segelas Teh Panas

Iya, aku dan segelas teh panas, tanpa kau. Dan ini benar-benar panas, bahkan uapnya sampai melukai jari-jariku saat sedang menyeduhnya. Tapi biarlah, rasa sakit ini benar-benar ampuh mengalihkan perhatianku dari rasa kosong di lubuk hati.

Dulu aku bertanya, "kenapa tidak es teh saja, menyejukkan dahaga?"
Kau menjawab, segelas teh panas membuat hatimu ikut memanas. Dan rasanya sangat menyenangkan.

Kuseruput dengan sangat syahdu, seolah-olah hembusan kipas angin di ruangan mengingatkanku pada lapangan rumput yang pernah kita datangi bersama dulu. Panasnya mentari, dan bau rumputnya masih sangat terasa di penciumanku.

Dulu kau bilang, "Selamat datang di duniaku. Kamu akan selalu menemui kebahagiaan sejauh mata memandang."

Aku tersenyum antusias waktu itu, "Benarkah? Aku bisa tertawa sampai pita suaraku rusak?"

Engkau pun tertawa. Kau bilang kau takkan membiarkan hal itu. Hanya tawa tanpa luka. Aku percaya saja waktu itu.

Namun seperti kata orang, waktu yang lama tak menjamin kau mengenal seseorang. Akan ada selalu rahasia sekecil apapun yang disembunyikannya. Begitupun dirimu.

Waktu yang terus bergulir, belum mampu membuatku menghilangkan semua kenangan indah itu. Caramu membuatku tertawa, segelas teh panasmu yang kau bagi denganku, kekonyolanmu saat naik roller coaster atau saat kita berlomba renang di sungai yang arusnya deras. Waktu bahkan meninggalkanku dengan semua kenangan darimu. Tak pernah bisa kulupa kalimat terakhirmu, "Maaf aku tak bisa menemanimu sampai garis finish. Aku cedera dan tak bisa melanjutkan." Kalimat itu begitu menghancurkan hatiku. Bagaimana mungkin kau menyembunyikan semua sakitmu dan hanya fokus pada sakitku?

"Kenapa kita tak bisa menyembuhkan bersama-sama? Tidakkah engkau menganggapku ada." Aku terus menyeruput teh panas ini sampai lidahku hampir terbakar. Dan sialnya aku menjatuhkan gelas teh tersebut saat tak sanggup lagi menerima cambukan panas di lidahku.

Aku sesenggukan. Tak seharusnya aku begini.

Bunyi rerumputan, sinar mentari, bunga-bunga yang ditanam di tiap petak-petak tanah. Ini nyata. Bukan lagi khayalan seperti dulu. Aku menuju sebuah pusara yang berada di tengah. Makamnya terawat dengan baik. Mungkin keluarganya sering berkunjung. Kuletakkan pot bunga matahari disana.

"Ini kubawakan bunga kesukaanmu. Maaf aku sengaja tak sering berkunjung." Kusadari aliran panas terjun di pipiku.

"Aku tak mampu menemanimu disana, karena itulah kubawakan bunga ini. Semoga salamku sampai ke rumah barumu."

Aku bangkit, hatiku bangkit, semangatku bangkit. Bodohnya aku, dia pasti kecewa melihat perjuangannya untuk membuatku bahagia berakhir sia-sia. Aku harus membuktikan padanya aku bisa.

Gunung Megang, 12 Februari 2018

Comments

Popular Posts