Honest Not Honey!

Aku menangis tersedu-sedu menerima pemberian yang kesekian darinya. Cheese cake dengan balutan keju, kesukaanku. Namun hambar bila dirasakan. Ia hanya singgah sebentar, ada urusan bisnis katanya tadi saat kutanya.

Namun kulihat, keringatnya bercucuran, seolah-olah dia gugup. Entah gugup karena apa? Mungkin karena dia ingin bertemu rekan bisnisnya. Dia tak mau memandang mataku saat bicara, lebih memilih memandangai karpet bulu di bawah kakinya.

"Nanti aku kembali, Ran." Ujarnya. Lalu pamit begitu saja tanpa sempat berpamitan pada bundaku. Padahal setiap kali kesini, selalu bunda yang ditanyakan pertama kali.

Aku mengambil sendok dan piring di dapur, menikmati suapan demi suapan kue di sofa ruang tamu. Ketika dering itu terdengar. Andai kutahu kalau dering itu pertanda buruk, tak mungkinlah kuangkat. Tapi tak tahu apapun lebih menyakitkan.

"Ran, aku lihat Danu di kafe." Kalimat pertama yang terucap di seberang.

"Oh, dia bilang tadi ada pertemuan dengan rekan bisnisnya."

Terdengar grasak-grusuk dari seberang, "Masa ketemu rekan bisnis sambil mesra-mesraan."

"Apa maksudmu? Dia bohong denganku?"

Setelahnya, aku terduduk lemas saat berpuluh kata menyakitkan itu tedengar dari seberang telpon. Tak sanggup berkata-kata. Jantungku berdegup kencang, darah mengalir deras. Aku mencoba untuk menenangkan diri. Jadi inikah jawaban solat istikharahku seminggu yang lalu?

Aku merasa seperti diberi madu, tapi nyatanya kawanan lebah dan beruang coklat mengejarku. Hingga aku sadar, madu ini pahit. Kepercayaanku hancur lebur, menjadi serpihan debu.

Dibuat di Gunung Megang, pada tanggal 23 Januari 2018.

Comments

Popular Posts