Do You Still Remember Me?
Kelima jariku dengan lincah berselancar di layar Hp, dan aku berjingkrak senang tatkala melihat daftar akun yang memberi atensi lebih pada foto yang kuunggah.
"Huaa.. ini pertama kalinya dia ngelove foto aku." Kugoyang-goyangkan bahu Mita yang duduk di sampingku dengan semangat. Akhirnya, setelah beberapa lama, dia ngasih love.
Mita mengaduh kesakitan, "Idih, gitu aja bangga. Gimana kalo dia nge-chat kamu? Aku yakin kamu udah teriak-teriak gaje keliling komplek.
Aku menepuk bahunya lagi, kali ini lebih keras. "Ikut seneng napa? Udah lama aku nungguin moment ini."
"Iya, iya," Mita mengangguk.
"Eh, tapi aku penasaran Mit!"
"Kenapa?"
"Sebenernya postinganku itu pernah lewat nggak sih di timeline-nya dia? Sampai dia nggak pernah ngasih like atau love di postinganku. Gitu kali ya, Mit?"
"Atau mungkin cuma foto kamu yang ini yang berhasil menarik perhatian dia!" Mita terbahak usai mengatakannya dan makin kencang saat melihat wajah merengutku.
"Emangnya kamu post foto apa sih? Coba aku liat!" Aku mengulurkan Hp pada Mita.
"Bahagia itu seperti apa, haruskah selalu melibatkan dia? Caption-nya ini kali yang buat dia suka, keren quote-nya." Aku berbinar mendengar kata-kata memujinya itu.
"Bener, Mit? Keren kan, aku sendiri loh yang buat." Mita mencibir.
"Sering-sering deh buat caption cantik kek gini." Aku beranjak dari duduk untuk mengambil sesuatu yang bisa dimakan di kulkas.
"Es krim? Soda?"
"Nggak deh, gigiku lagi sensitif belakangan ini."
"Ya udah aku makan sendiri, yah?k
"Huh, gitu, jahat banget! Ada tamu tapi nggak disuguhin apapun."
"Kamu tuh bukan tamu kali. Tamu apaan yang selalu ngerampok kulkas orang tiap kali kesini."
"Aku ambil sendiri aja kalo gitu. Lintah pelit!"
"Nama aku Linda!" Aku berteriak kesal. Enak saja memplesetkan nama orang sembarangan.
Tepat saat Mita mendudukkan pantatnya di sofa, gemuruh langit memekakkan telinga-telinga makhluk hidup yang masih berfungsi. Tetes-tetesnya bermunculan menghantam bumi satu per satu bak meteor jatuh dari langit bagi para semut.
"Yah, kok hujan sih? Aku gimana pulangnya?" Keluh Mita, sedang mulutnya tetap menyuapkan eskrim. Hujan-hujan gini masih aja makan es krim, apa nggak dingin banget tuh? Lagian dia tadi kan bilang giginya lagi sensitif!
"Bentar lagi reda pasti, satu atau dua jam-an lagi." Tenangku.
"Kalau sampai malam?"
Aku memutar bola mata. "Ntar aku suruh supir anter kamu pulang."
"Okok."
Aku beranjak menuju teras, untung gemuruhnya nggak kedengeran lagi. Petir juga nggak ada. Jadi, amanlah buat nadahin tangan di air hujan. Hm, sejuk sekali rasanya. Seluruh organ tubuhku meneriakkan ketenangan. Saat kecil aku suka sekali mandi hujan sampai dimarahin Mama karena demam. Tapi aku belum kapok, dengan Papa yang selalu bela aku, aku mengulanginya lagi. Dan Papa jugalah yang menyarankanku untuk menadahkan tangan saja di teras saat hujan.
Beliau bilang, "Papa nggak melarang kamu mandi hujan, Papa tahu sekali kamu suka air sejak bayi. Papa cuma nggak mau lihat wajah Mamamu sedih tiap kali kamu sakit."
Saat itu, aku hanya dapat menundukkan kepala, membayangkan ekspresi sedih Mama dan itu berhasil membuat sedih menelusup ke hatiku. Akhirnya mandi hujan di sore itu menjadi yang terakhir kalinya bagiku.
*_*
Sinar mentari mengetuk jendela kamarku yang ditutupi tirai, ingin memasuki kamarku yang masih gelap gulita ini. Mungkin niatnya baik, agar aku mendapatkan Vitamin E yang cukup. Tapi itu sebuah penyiksaan mata bagiku dan dengan teganya Mama menyibak tirai jendela.
"Bangun! Bangun! Anak gadis harus bangun pagi biar jodohnya cepet sampai."
Aku duduk cepat sambil mengucek-ucek mata. "Teori darimana itu?"
"Teori Ibu-Ibu!"
Aku mendengus dan dihadiahi jitakan di kepala oleh Mama. Aku berteriak kesal dan Mama langsung ngacir keluar kamar.
*_*
Aku baru meletakkan tasku di meja saat Mita menampakkan wajah sok imutnya, dia menyengir lebar.
"Apa?" Sergahku.
"Udah lihat notif Instagram belum?"
"Belum. Semalaman aku nggak pegang Hp." Ujarku.
"Siniin Hpnya."
Aku mengernyit, kenapa sih dia? Tapi tetap mengulurkan Hpku.
"Wow, kamu harus lihat ini!" Ujar Mita heboh.
"Ada apa?"
Aku melihat layar Hp, disana terpampang fotoku yang sedang berdiri di teras saat hujan kemarin.
"Kok kamu nggak bilang-bilang masukkin di Instagram!"
"Bagus fotonya. Dan lihat siapa aja orang yang kasih love." Paksa Mita. Dia memangku kedua tangannya di meja dan menumpukan kepalanya disana. Dan Aku terperanjat kaget untuk kedua kalinya.
"Ini beneran?" Ujarku tak percaya.
Mita mengiyakan.
Triingg.
Notif Instagram. Ada DM dari .. aku membeliak melihat nama akun tersebut, Mita bertanya heran dan ikutan membeliak padaku saat kuulurkan Hp.
Aku berjingkrak-jingkrak senang dengan Mita. Woahhh, it's amazing. Kami berputar-putar di depan kelas samb berpegangan tangan, baru berhenti saat beberapa teman menegur. Aku dan Mita terkikik senang.
Kami nyengir bersalah, ampun, kok alay banget sih? Tapi sumpah, inu bikin aku bahagia tiada tara.
"Ayo, dibuka."
"Iya."
@Denialdino
Hai, apa kabar?
@Lilinda6699
Baik, kamu?
@Denialdino
Iya, Alhamdulillah bisa chat sama primadona sekolah lagi.
@Lilinda6699
Primadona yang kesandung kabel mikrofon saat prom maksud kamu?
@Denialdino
Kamu masih sama ya.
@Lilinda6699
Maksudnya?
@Denialdino
Masih suka nethink sama orang lain.
Aku cemberut.
@Lilinda6699
Hm. 😑
@Denialdino
😂
@Lilinda6699
Eh, dilanjut nanti ya! Ada guru.
Aku buru-buru mematikan paket data dan menonaktifkan Hp saat melihat Bu Riris, Guru Matematika, sudah berada di ambang pintu kelas.
"Ciee..." Mita menyenggol lenganku.
"Apasih! Udah, nanti dimarahin Bu Riris!"
"Ciee.."
"Aku pites kamu ya kalau nggak mau diem." Dan Mita hanya menutupi mulutnya dengan tangan dengan dramatis.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku membujuk Mita untuk menemaniku membeli novel Critical Eleven di Gramedia. Iya, filmnya baru aja dirilis beberapa bulan lalu. Aku penasaran sama cerita asli di novelnya. Cara Alle dan Tanya mengambil keputusan dalam biduk rumah tangga mereka.
"Nggak bisa, aku udah janji sama Mama nemenin dia ke arisan." Jawab Mita.
Akhirnya aku pergi sendirian. Aku menelusuri rak demi rak dan menemukannya. Nggak sabar lagi baca. Aku segera ke kasir untuk membayar.
"Ehm, Linda?" Aku menoleh saat ada yang mencolek bahuku dari samping.
"Ini aku, Deni." Ucapnya sambil menunjuk dirinya sendiri. Iya, aku tahu, Den. Masa aku lupa sama orang yang kusukai dari dulu sih!
"Iya, kamu masih ingat aku?" Dia tertawa. Oke, pertanyaan konyol. Jelas-jelas dia ingat, dia yang nyapa aku duluan tadi.
"Beli Critical Eleven?" Deni menunjuk kantung plastik yang diulurkan kasir.
Aku mengangguk.
"Oh, aku udah pernah baca. Jadi ceritanya Alle dan Tanya ketemu di pesawat, mereka menikah tapi Tanya kehilangan bayinya di usia 9 bulan lalu. . ."
"STOP!" Tanganku berhenti di depan wajahnya, menghentikan ucapannya.
"Jangan spoiler. Please." Tanganku menangkup di depan dada. Dispoilerin itu nggak enak banget. Walaupun udah tau endingnya, tetep aja feel saat nonton sama baca tuh beda. Apalagi terkadang adegan-adegan di novel banyak yang dikurangi dan ditambahi.
"Iya, iya." Dia nyengir.
"Udah makan siang?"
"Udah. Di kantin sekolah."
"Kalau eskrim belum."
Oops, mulut, mulut. Kenapa nyerocos aja.
"Boleh tuh, aku tau kedai eskrim enak."
Dia berjalan mendahului aku. Seperti anak itik aku mengikutinya. Kelima jari-jarinya yang kosong melambai-lambai memanggilku untuk mengisi kekosongannya.
"Aku pesan banana split, kamu?"
"Aku matcha ice cream." Putusku.
"Nggak nyangka ketemu kamu disini. Kabarnya kamu pindah ke Yogya?"
"Nggka kok, aku cuma liburan ke rumah nenek waktu itu. Aku masih disini." Nunggu kamu, lanjutku dalam hati.
"Aku..."
Perkataannya terpotong saat Mbak pelayan mengantarkan eskrim kami.
"Aku suka foto kamu. Yang di Instagram. Suma fotografi?"
"Nggak juga, cuma asal jepret aja."
"Tapi, bisa bagus gitu, yah."
"Makasih."
Kami lalu bernostalgia ke jaman SMP, bercerita tentang kelucuan teman-teman sekelas dulu. Ternyata dia masih seperti dulu, lucu dan pintar menghangatkan suasana. Aku nggak bisa berhenti ketawa dari tadi.
"Kamu cantik kalo ketawa gitu."
"Bisa aja kamu, Den."
Cantik katanya? Mimpi apa aku semalam?
"Iya, natural. Dan itu yang buat aku jatuh dari dulu."
Jatuh? Maksudnya? Jangan-jangan . . . Sebuah jawaban melintas di benakku. Nggak mungkin.
Dia menarikturunkan alisnya sambil tersenyum.
"Iya, dugaan kamu benar."
OMG! Tapi dia nggak ada tanda-tandanya dulu, malah terkesan cuek sama aku. Aku berusaha tak tersenyum. Tapi sulit. Udahlah, malu-maluin aja. Bibirku akhirnya membentuk senyum lebar.
"Jadi?" Tanyanya.
"Jadi?" Beoku.
"Kamu jatuh juga?"
Aku menarik napas panjang dna mengangguk malu-malu. Dia tersenyum senang.
"Beruntungnya dapat bidadari jatuh." Aku makin tersipu. Pipiku sudah memanas seperti ketel air saat mendidih.
"Jadi, aku nggak perlu lagi ngasih love di dunia maya ya, karena loveku bakal tersampaikan langsung."
Aku memutar bola mata. Kapan sih berhenti gombalnya?
"Dan saat kamu sama aku, kamu harus selalu bahagia."
Comments
Post a Comment