Dayang Drama

''Nama saya Madsoleh. Dipanggil Mang Oeh.''

''Kamu bisa berimprovisasi dengan berjalan kesana-kemari.''

''Nama saya Madsoleh. Dipang-''

''Kenapa nadanya datar sekali?''

''Nama saya.. Madsoleh. Dipanggil Mang. . .''

''Oek.. Oek.. Oek..'' aku terkejut ketika mendengar tangisan khas bayi tersebut, tanganku gemetar pun sekujur tubuh. Ternyata kelenjar keringatku tak kehilangan fungsinya, buktinya keringat mengucur deras dari pelipisku. Aku menoleh takut ke arah Bu Mini di kursinya, seolah matanya akan membakar tubuhku kalau aku menyiram bensin sedikit saja, dan dengan begini pun, aku yakin aku telah menyiram terlalu banyak. 

''Menangis saja seperti bayi, Oek.. Oek.. Mengekspresikan sebuah dialog juga butuh teknik yang tepat, bukannya teruuss melaju seperti kereta api.''

Aku mengkeret di sudut ruangan, ''Intonasinya mana?'' teriaknya

''A.. Aku..''

''Lanjutkan.'' titahnya, bak seorang ratu kerajaan Inggris yang memerintah dayang-dayangnya untuk segera menggosok punggungnya yang terasa gatal.

''Berbagai jenis pekerjaan sudah saya coba, termasuk pekerjaan yang sekarang.''

''Tetapi, tetap saja tidak ada yang berminat membeli.'' aku menghela nafas, mencoba mengatur hati- eh suara agar pas saat dialog mengeluh.

''Tuhan, saya ini harus-''

''Intonasinya sedikit direndahkan, ya sayang.'' aku bergidik mendengarnya, sayang? Aku tidak mau menjadi pasangan LGBT-mu, Bu.

''Kalau kau mengucapkannya dengan nada tinggi seperti itu, akan terdengar seolah kau memarahi Tuhanmu. Kau berani pada Tuhan?'' tanyanya.

Aku hanya mampu menggelengkan kepala. Dari sudut mataku, kulihat Rani di ambang pintu kelas. Seluruh siswa memang disuruh berada di luar kelas agar sesi latihan drama ini berjalan kondusif dan tenang sehingga membuat sang aktor fokus berkonsentrasi pada naskah, setiap siswa akan dipanggil menurut absen untuk menunjukkan kebolehannya bermain peran, Rani menutup mulutnya geli, dia menertawakan aku? Awas saja kau nanti! Kugertakkan gigi merasa geram.

''Kenapa bengong? Ayo lanjutkan.'' jantungku terjatuh, terkejut bukan main.

''Emh, Bu Mini boleh saya bertanya? Apakah ibu pengidap penyakit hipertensi, karena sepertinya ibu sering marah-marah akhir-akhir ini? Ataukah karena faktor cuaca yang panas?''

''Berani-beraninya kamu!'' ups, kenapa aku mengucapkan apa yang ada di pikiranku. Alamak, mati aku! Tanpa banyak pikir, aku langsung wosshhhhh...

''ATHAYAA!!!''

Aku berlarian di koridor sambil menarik paksa tangan Rani yang kugaet di ambang pintu, langkahnya tersaruk-saruk mengimbangi lariku yang seperti dikejar raja setan.

''Aku belum mendapat giliranku berakting, Athaya.'' teriaknya.

''Apakah kau tak peduli dengan nasib temanmu ini?'' tanyaku sarkastik.

''Merepotkan saja.'' akhirnya Rani mulai ikut berlari bersamaku, tanpa dipaksa! Tujuan kami adalah tempat yang punya banyak makanan di sekolah ini.

Slurrpp. Aku menyeruput es jerukku dengan nikmat, membiarkan airnya mengaliri tenggorokanku yang kering. Ahh lega rasanya. Posisi kami sekarang tentu saja kantin. Rani meninggalkanku sendirian untuk memesan dua porsi batagor di salah satu stand makanan. Latihan drama ternyata membuat perutku keroncongan, sebenarnya bukan latihannya tetapi karena gurunya.

Bu Mini itu sangat kejam, salah sedikit saja langsung disambar kayak petir. Langit menggelap. Awan hitam. Guntur menggelegar. Tamatlah riwayatku.

''Makan dulu gih, lo pasti laper abis dimarahin.'' Rani duduk di kursinya dan meletakkan dua porsi batagor menggiurkan di atas meja.

''Lo tau aja.'' jawabku malu-malu.

''Ga usah pasang tampang kaya gitu, lo udah kaya kucing malu-maluin yang kecebur got.'' gerutunya.

''Ish.. Ga asik lo,'' aku pun mengambil piring bagianku dan langsung melahap batagornya dengan lahap.

''Lo kok berani banget ngatain Bu Mini tadi, Ya?''

''Keceplosan.'' aku nyengir.

''Lo tau ga, W.S. Rendra?'' aku memasang wajah bingung ke arahnya. ''Dia aja waktu SMP udah meranin teater pertamanya, Kaki Palsu. Nah elo, latihan drama aja udah K.O.''
''Elah, gue kan bukan pemain teater.''

Rani tertawa mengejek, ''Payah lo.''

''Emang.'' ucapku kilat.
''Salah apa gue Ya Tuhan dapet temen goblok kaya dia?!'' aku melempari wajahnya dengan tisu, membuat tawanya semakin keras. Fix, aku kesel berat.

''Walau kata W.S. Rendra masih hidup, gue juga ga mau masuk ke grup teaternya yang tersohor itu.''
''Serius?''

''Yap, gue benci drama. Hidup gue selalu jadi sengsara karena drama.'' Rani mendekatiku, menepuk pundakku untuk memberikan kekuatan.

''Ah kok gue jadi menye-menye gini sih?'' aku mengusap mataku yang berair, ''Jadi Gue ingetin lo Ran, jangan keseringan nonton Uttaran kalo ga mau hidup lo kaya gue.''

Aku beranjak dari kursi kantin, berjalan gontai menyusuri koridor sekolah. Semangatku terus tersedot ke lubang hitam prahara. Kakiku berhenti berjalan, aku lupa membayar makananku. Tapi kan ada Rani, ya sudahlah pasti dia yang akan membereskannya. Tanganku mengibas angin, mencoba menenangkan gejolak di hati.

TBC

Comments

Popular Posts